Budaya Laha Kering Kepulauan dan Pariwisata

Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya terhadap Budaya Lahan Kering

Istilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan. Dalam pengertian ini, di Indonesia terdapat area lahan kering yang luas baik di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun lahan kering dalam pengertian tersebut secara klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan lahan kering pada materi kuliah ini, batasan lahan kering yang dimaksudkan adalah lahan tanpa pengairan di area yang tidak pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim (Widyatmika, 1987). Daerah demikian pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah. Daerah dengan curah hujan relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang secara klimatologis termasuk daerah Arid dan Semi Arid.

Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh Thornthwite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan potensi evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan atas nilai Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks Ariditasnya jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson bulan basah = CH-nya < 60 mm/bulan dan bulan kering = CH-nya > 100 mm/bulan. Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki tipe CH D, E dan F dengan 4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH-nya < 100 mm/bulan). Menurut Tholl (1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah satu unsur Curah Hujan (CH) yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat di daerah tropik adalah CH bulanan, dimana CH bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:

a.    Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.

b.    Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 – 9 bulan

c.    Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 - 7 bulan

d.    Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 – 4,5 bulan.

e.    Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.

Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid, karena terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara klimatologis menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60% daratan di NTT bertipe iklim E, 30% nya F dan 10%-nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, 62,6% dari total wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4 dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid)  atau semi kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa[1].

Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT  seluas 47.349,90 km2, terdiri dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis topografis, 73,13% wilayah daratan bergunung dan berbukit, yang dengan kemiringan 15%-40% seluas 38,07% dan dengan kemiringan > 40% seluas 35,46%; dengan variasi ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut laporan CIDA (1976) dari total luas wilayah NTT, ada 66,4% (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar 1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92%-nya adalah lahan kering. 

Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT adalah didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di Timor Barat, Sumba, Alor, Sabu dan Flores.

Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan dan perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan usahatani di lahan kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen yang besar antara lain untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan tanaman pangan setahun (padi dan palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan tanaman semak menyebabkan rawan api. Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan maupun kegiatan pembersihan dalam membuka ladang baru atauuntuk menumbuhkan rumput muda dan berburu sering ditemui. 

Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat NTT adalah masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering ini memiliki ciri-ciri sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari masyarakat yang hidup dilahan basah ataupun lahan kering di wilayah beriklim basah.



[1] Adanya perubahan sikap hidup dan kebiasaan orang NTT dari suka membakar dan gemar berusahatani ladang berpindah dengan sistem tebas dan bakar ke semakin suka menanam tanaman umur panjang dan membiarkan pepohonan hidup di kawasan hutan dan semak belukar savanna dan stepa semakin menyempit, sebagaimana dikeluhkan para peternak di Timor dan Sumba bahwa dengan semakin meluas dan lebatnya kawasan hutan belukar mereka mengalami kesulitan mengendalikan ternak piaraan mereka yang diternak secara ekstensif.